Racauan ketika berhenti berpikir

Aalia
2 min readMay 25, 2023

--

Terakhir kali saya berpikir mungkin sekitar tiga bulan yang lalu. Awal tahun baru, masih di puncak resolusi-resolusi bombastis yang wow mantap keren banget. Pikiran saya penuh dengan ide, rencana, dan harapan-harapan baik yang akan saya lakukan di tahun ini. Tiga bulan setelahnya, saya kembali memasuki masa-masa depresif. Entah kenapa masa kelam ini sudah seperti rutinitas tahunan yang nggak pernah mangkir. Pada masa-masa ini, rasanya sangat sulit untuk sekedar bangun dan mengerjakan hal-hal yang menjadi tanggung jawab saya, apalagi berpikir. Kepala saya kosong sekaligus bergemuruh di saat yang bersamaan — suaranya memekakkan padahal isinya nggak ada. Pandangan saya kabur, yang terlihat jelas hanya spekulasi-spekulasi buruk di antara berbagai macam probabilitas hidup kedepannya. Selama bertahun-tahun pula hal yang saya lakukan ketika ini terjadi hanya pasrah — menunggu waktu kembali mengatur segalanya seperti sedia kala. Bukan cara yang baik, memang. Namun, inilah hal lain yang menyebalkan dari diri saya: saya sulit terbuka dengan orang lain secara spontan. Alhasil, mengikuti beberapa sesi konseling kurang banyak membantu saya dalam menguraikan isi kepala. Dengan beban dan tanggung jawab yang makin besar dari tahun ke tahun, saya paham hal ini tidak boleh terus-terusan terjadi. Solusinya harus taktis! Kalau kita pinjam instilah abang-abangan teknik yang selalu meng-engineering-kan berbagai permasalahan di sekitar. Namun, saya pun tahu bahwa yang instan di dunia ini hanyalah mie instan. Sisanya butuh iterasi yang nggak mudah. Saya mencoba berbagai cara — kembali ke rutinitas lama, menghapus semua sosial media, pelan-pelan memvalidasi emosi yang nggak bisa saya utarakan, dan pendekatan-pendekatan lainnya. Uniknya, ditengah proses penyembuhan ini, hal yang memotivasi saya untuk bangkit adalah kematian. Hal ini bermula dari kabar teman masa kecil saya yang meninggal dunia mendadak di usia muda. Kematiannya disebabkan oleh takdir, bukan kehendak pribadi — sehingga terasa semakin mengejutkan. Lalu kebiasaan yang selalu kita lakukan setiap mendengar kabar seseorang yang baru saja meninggal tentu saja mengecek postingan terakhirnya di sosial media. Feed instagram estetik, too good to be true, menimbulkan asumsi bahwa hidupnya selama ini berjalan sempurna, tanpa cela. Hingga akhirnya saya singgah di profil spotify-nya, melihat-lihat beberapa playlist yang kelam, judul yang menggambarkan trauma masa lalu, dan lagu-lagu yang menyedihkan. Jujur, pada saat itu perasaan saya campur aduk. Saya tahu kematian adalah fase hidup yang menyedihkan untuk kebanyakan orang-orang. Namun, di sisi lain saya pun berpikir bahwa kematian (dalam hal ini kematian alamiah) adalah cara terbaik untuk mengangkat beban-beban yang selama ini ia pikul. Mungkin kematian justru menjadi pembebas yang mengakhiri penderitaannya. Kemudian, sampailah saya pada kesimpulan bahwa setiap yang berjiwa pasti akan mati. Maka kesengsaraan ini kelak tidak akan memiliki arti, dan derita yang saya rasakan kelak tidak akan lagi menggambarkan luka. Akhirnya, kematianlah yang menjadi alasan saya untuk bertahan. Paradoks yang lucu, ya?

--

--