Menciptakan Distraksi

Aalia
3 min readSep 19, 2023

--

Kegabutan hari ini membawa saya kembali ke tulisan-tulisan yang saya lahirkan di Medium ini. Dilahirkan karena rasanya beneran seperti ngeluarin suatu entitas baru dari kepala. Tulisan yang diketik dengan jari yang sama — cuman beda tanggal atau tahun aja — bisa menumbuhkan karakter baru yang asing sekaligus jauh dari si saya ini.

Saya masih ingat pertama kali menulis di Medium, tahun 2020, waktu itu saya lagi mati bosan menunggu bel pulang untuk kelas pemantapan — LKS diatur sedemikian rupa supaya posisinya terlihat seperti lagi dibaca, sedang mata saya terpaku pada Madilog yang saya sembunyikan dari balik LKS. Kemudian, dengan idealisme abang-abangan twitter, saya mencoba mengelaborasi gagasan yang ada di buku tersebut dan lahirlah tulisan pertama saya di Medium. Empat tahun kemudian saya baru berani buka lagi tulisan itu dan asghaknwocndisjucewjdkx — jele banget.

Setelah era idealisme lu punya duit lu punya kuasa berakhir, masuklah fase depresi yang membuat tulisan optimis-nasionalis saya pelan-pelan bergeser jadi tulisan menye-menye yang (kadang) agak mengkhawatirkan. Namun, entah kenapa di fase ini pula saya justru mulai menemukan kenyamanan serta gaya kepenulisan saya. Menulis kurang lebih menjadi media terapi yang cukup efektif buat ngeluarin semua hal yang menyebalkan di keseharian saya.

Namun, di antara berbagai kumpulan tulisan menyedihkan itu, saya rasa ada satu tema besar yang menyatukan semua tulisan menye-menye ini, yaitu pelarian dari kesepian. Salah satunya adalah tulisan yang saya buat seminggu setelah jatuh dari motor. Konteks dikit: ceritanya si saya ini lagi mengalami existential dread yang kacau banget dan memutuskan buat jalan-jalan impulsif buat nenangin pikiran tapi berakhir cilaka

Hikmahnya, perjalanan impulsif ini jadi pengingat untuk saya kalau ternyata saya belum siap buat mati lebih cepat. Dorongan pikiran nggak sehat untuk menyerah ternyata nggak sepadan dengan rasa sakit yang perlu dilalui untuk berhenti.

Mana setiap lepas hansaplast tuh rasanya kayak dikulitin, sakit banget, hiks.

Atau tulisan lainnya, yang agak happy tapi sangat delusional

Namun maukah kau
mengingatkanku kalau
jiwaku mulai meninggalkan badan
akibat irasionalitas
yang mengkungkung diri ini?

Jika mataku mulai
nampak mengosong
dan kepalaku perlahan
menengadah ke atas,
maukah kau
mengajakku kembali?

Namun anehnya, dari tulisan-tulisan yang sudah saya publikasikan maupun yang belum, belum ada tulisan yang membawa masalah kesepian ini secara eksplisit. Tulisan-tulisan saya umumnya mengacu pada satu peristiwa bombastis agar memiliki latar belakang yang valid untuk dikategorikan sebagai tulisan sedih. Entah kenapa seperti ada ketakutan tersendiri untuk meng-acknowledge kesepian yang telah membersamai saya selama belasan tahun.

Akibatnya, semakin sulit rasanya menumpahkan apapun yang ada di benak saya ke dalam tulisan, karena saya nggak pernah benar-benar menulis secara jujur. Jujur dalam artian menggambarkan apa yang sebenarnya saya rasakan.

Akhirnya, saya memilih untuk vakum menulis selama beberapa bulan, tapi kondisi saya ternyata malah makin nggak stabil. Panic attack saya mulai kambuh lagi dengan frekuensi yang semakin sering. Karena nggak mau terjebak di kondisi ini (lagi), saya kembali konsul ke psikolog yang disediakan kampus.

Bagian yang paling sulit dari terapi adalah mengungkapkan keluhan kita dan menjadi lemah kepada orang “baru” yang nggak pernah tahu keseharian kita sebelumnya. Butuh tiga kali sesi konsul sampai akhirnya saya mau terbuka untuk melepaskan hal-hal yang nggak bisa saya utarakan ke diri sendiri. Dan psikolog saya akhirnya bilang,

“Mungkin nggak sih ini tuh (panic attack) penyebabnya karena kamu nggak ada tempat buat cerita?”

Dang. Kesepian. Sesuatu yang udah jadi keseharian saya (dan saya kira normal) ternyata ada bom waktunya juga. Kesepian yang selama ini saya rasakan, nggak pernah terdeteksi radar kesadaran saya. Alhasil, berbagai cara yang saya lakukan untuk “sembuh” malah menambah lapisan distraksi yang membungkus inti masalah sebenarnya — karena saya nggak pernah benar-benar menggali apa yang jadi akar masalah saya.

Setelah sesi konsul selesai, saya langsung membuka Medium dan menulis beberapa coretan ini

Pertapaanku hanya menghasilkan kekosongan
Bagai gelembung kecil yang terpisah dari buihan ombak
Terbawa arus distraksi — hanya untuk menghitung mundur
Waktuku membaur bersama air

Lucunya, ketika saya sudah tahu akar masalahnya, bukan berarti masalahnya langsung hilang begitu aja. Dan sejauh ini, cara untuk mengurangi kesepian ya jangan kesepian haha.

Tapi kalau dipikir-pikir, kesepian juga bukan sesuatu yang buruk banget kok(?) Setelah sesi konsul itu, saya mulai mencoba mengatur kadar kesepian ini, supaya saya bisa melepas beban emosional saya sesuai kapasitas yang saya sanggupi. Mungkin di lain waktu saya bakal bikin tulisan khusus buat proses iterasi ini kali, ya?

Jadi, apa distraksi yang sedang melekat bersamamu akhir-akhir ini?

--

--